Senin, 02 April 2012

Prostitution and Trafficking of Women and Children: The Dynamics of Supply and Demand

Prostitusi dan perdagangan anak, saat ini memang menjadi masalah yang sangat kompleks di tengah perkembangan zaman saat ini. Hal ini salah satunya terjadi karena terdapat keseimbangan antara suplai yang berasal dari para korban dan permintaan yang selalu ada dari para pelaku tersebut. Jadi berbagai usaha yang telah dilakukan terlihat sia-sia, karena pasti akan tumbuh lagi dengan sistem yang baru. Banyak faktor yang menyebabkan proses perekrutan para korban sangat mudah dilakukan, salah satunya faktor kemiskinan yang kemudian menghalalkan  segala cara agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Melihat peluang-peluang tersebut, para pelaku sering mencari korbannya baik wanita maupun anak yang berasal dari keluaraga miskin, tidak memiliki pendidikan yang cukup dan selanjutnya dapat dikontrol dengan mudah.Dengan suplai yang banyak, hal ini menimbulkan permintaan yang tinggi dari para konsumennya yang hanya menginginkan kepuasaan sesaat.
Salah satu contoh dari kegiatan tersebut, yaitu perekrutan perempuan muda dari Bali dan Jawa untuk misi kebudayaan atau tari ke Jepang. Para penari diberitahu bahwa mereka akan membawakan tarian tradisional di sejumlah pusat hiburan di Jepang. Setibanya di sana, mereka dipekerjakan di karaoke dan klub yang menyajikan tarian telanjang. Mula-mula mungkin mereka akan bekerja sebagai pelayan atau teman minum bagi tamu namun pada akhirnya mereka akan disuruh memberikan layanan seks kepada tamu.
Tampaknya ada berbagai jalan masuk ke dalam industri seks di Indonesia dan tidak semuanya merupakan perdagangan. Sebagian perempuan memasukinya secara sadar, karena merasa hanya sedikit pilihan yang tersedia bagi perempuan yang berpendidikan rendah dan hanya memiliki sedikit keterampilan seperti mereka. Banyak di antaranya yang harus menghidupi keluarganya dan tidak dapat menemukan jalan lain yang layak untuk memberi makan keluarganya. Dalam kasus-kasus lain, sejumlah perempuan dan gadis yang meninggalkan kampungnya untuk berangkat ke kota besar guna mencari pekerjaan didekati oleh supir taksi yang menawarkan mereka pekerjaan bergaji besar begitu mereka sampai di tempat tujuan, namun kemudian mereka malah dibawa ke rumah bordil di mana mereka dipaksa atau dibujuk untuk tinggal. Meski sering kali tidak diakui, orang tua dapat memperdagangkan anak mereka dengan cara menyalahgunakan wewenang formal dan informal mereka sebagai orang tua. Di beberapa kabupaten di Indonesia, terutama di Jawa, berlaku subbudaya di mana keluarga yang mempunyai anak perempuan di bawah umur mengatur agar anak mereka dapat menetap di kota untuk memasuki industri seks agar ia memperoleh penghasilan lebih besar dari yang mungkin dapat ia raih. Ini sudah jelas merupakan kasus perdagangan. Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara, sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai penari, penari telanjang atau bahkan pekerja seks, namun mereka ditipu mengenai kondisi kerja yang harus mereka hadapi, dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari yang sebenarnya, disekap secara paksa, atau tidak boleh menolak bekerja, sehingga nasib mereka berujung dalam kondisi eksploitatif yang merupakan perdagangan. Juga ada konsistensi yang cukup tinggi dari antara sejumlah laporan yang menyatakan bahwa 30% pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Anak umur di bawah 18 tahun yang direkrut dan dikirim ke dalam industri seks merupakan korban perdagangan, sehingga isu tentang persetujuan atau menjadi pekerja seks secara sukarela menjadi tidak relevan.
Solusi yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kegiatan prostitusi dan perdagangan anak yaitu menghentikan proses permintaan. Untuk itu ada 4 komponen yang mempengaruhi, antara lain: Orang yang membayar untuk mendapat jasa tersebut, Pelaku yang mencari dan menyalurkan kepada para konsumen, Negara yang menjadi tujuan dari tindak kejahatan ini, dan Kebudayaan yang menyetujui eksploitasi seksual.
Manakala perdagangan manusia dibicarakan, pelaku perdagangan kerap digambarkan sebagai bagian dari organisasi kejahatan lintas batas yang terorganisasi. Meski gambaran ini mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pelaku perdagangan yang juga jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisasi; sebagian beroperasi secara independen, sementara sebagian lagi merupakan tokoh terhormat dalam komunitas mereka. Setiap sektor di mana perdagangan terjadi juga memiliki kelompok aktornya sendiri di dalamnya. Sebagaimana tidak semua perempuan dan anak yang terlibat dalam sektor-sektor ini adalah korban perdagangan, demikian juga tidak semua aktor adalah pelaku perdagangan. Namun banyak dari mereka yang menjadi pelaku perdagangan dan sebagian mungkin terlibat langsung dalam perdagangan perempuan dan anak dan bahkan tidak menyadarinya.
Untuk memutus hubungan antara pelaku prostitusi dan korban. Kita dapat memulai dari para penyalur dan penyedia jasa tersebut. atau yang sering disebut dengan germo atau mucikari, tapi dengan kelihaian para penyalur tersebut, mereka sulit sekali untuk di tangkap dan sebagian besar orang yang ditangkap hanya para penyalur-penyalur kecil, sedangkan para penyalur besar mereka masih nyaman menjalankan usaha prostitusi ini. Oleh karena itu, perlu kerjasama yang bail antara pemerintah dana aparat terkait untuk membuat suatu sistem yang efektif untuk menagkap para pelaku tersebut dan tentunya disertai dengan mental yang baik untuk melakukan tindakan di lapangan.
Di negara tujuan, buruh migran perempuan Indonesia menghadapi risiko diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Perempuan yang direkrut untuk menjadi pembantu rumah tangga terkadang dipaksa untuk terjun ke dunia prostitusi di negara tujuan. Walaupun pihak perekrut di Indonesia mungkin sudah lama mengetahui penipuan ini, ada juga kasus di mana agen di negara tujuan menentukan buruh mana yang akan menjadi pembantu rumah tangga dan yang akan dikirim ke rumah. Harian Kompas pada bulan Maret 2000 melaporkan bahwa “20 buruh migran perempuan diintimidasi dan disiksa oleh agen mereka karena mereka tidak mau melakukan prostitusi”. Ada juga bukti bahwa buruh migran perempuan diperdagangkan ke tempat-tempat seperti Sarawak dan Johor, Malaysia, untuk bekerja sebagai pekerja seks untuk melayani buruh migran laki-laki Indonesia di perkebunan. Jumlah perempuan yang diperdagangkan menjadi pekerja seks tidak diketahui pasti, tetapi surat kabar sering kali mengangkat kasus-kasus baru. Saat ini Indonesia belum mempunyai undang-undang perlindungan buruh migran. Namun demikian, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas sebuah rancangan undangundang perlindungan buruh migran yang disusun dan diadvokasi oleh LSM-LSM yang menangani masalah buruh migran Indonesia. Dan untuk sementara ini, semua kebijakan dan peraturan tentang buruh migran Indonesia masih tetap dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Di Indonesia ada sejumlah praktik tradisional yang dapat dikategorikan sebagai perdagangan, sistem ijon dan praktik-praktik terkait yang mencakup berbagai jenis pekerjaan, seperti pekerja seks, PRT dan buruh kasar. Contohnya, praktik pengambilan gundik di dalam lingkungan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai cikal bakal perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual. Istana raja dihuni oleh sejumlah besar perempuan yang disebut selir yang diberikan kepada raja oleh bangsawan sebagai tanda kesetiaan atau sebagai upeti dari kerajaan-kerajaan lain. Gadis-gadis ini juga sering kali dijual atau diberikan oleh keluarga mereka untuk memperoleh posisi rendah di dalam rumah tangga kerajaan. Pola pengambilan gundik serupa terjadi di dalam rumah tangga bangsawan di segenap kawasan tersebut.
Sebelas komunitas di Jawa adalah komunitas sumber yang signifikan untuk selir kerajaan di masa lampau “ Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Japara, Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; dan Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan di Jawa Timur. Praktik ini juga berkembang di kalangan masyarakat Bali; ketika perempuan berkasta rendah menjadi janda dan tidak dihidupi oleh keluarganya, janda tersebut kemudian berada di bawah kekuasaan raja. Jika sang raja tidak ingin memasukkan janda itu ke dalam rumah tangganya, ia mungkin akan dikirim untuk bekerja sebagai pekerja seks, dengan sebagian gajinya dikirimkan ke raja.

1 komentar:

  1. wow Long post kawand,,, tapi bagus, pos ini bisa nambah pengetahuan kita mengenai perdagangan anak dan perempuan,, so satu kata STOP HUMAN TRAFFICKING,, dan pemerintah kita harus bekerja ekstra keras lagi untuk lebih meminimalisir perdagangan anak dan perempuan....

    BalasHapus