Prostitusi dan perdagangan anak, saat ini memang
menjadi masalah yang sangat kompleks di tengah perkembangan zaman saat ini. Hal
ini salah satunya terjadi karena terdapat keseimbangan antara suplai yang
berasal dari para korban dan permintaan yang selalu ada dari para pelaku
tersebut. Jadi berbagai usaha yang telah dilakukan terlihat sia-sia, karena
pasti akan tumbuh lagi dengan sistem yang baru. Banyak faktor yang menyebabkan
proses perekrutan para korban sangat mudah dilakukan, salah satunya faktor
kemiskinan yang kemudian menghalalkan
segala cara agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Melihat
peluang-peluang tersebut, para pelaku sering mencari korbannya baik wanita
maupun anak yang berasal dari keluaraga miskin, tidak memiliki pendidikan yang
cukup dan selanjutnya dapat dikontrol dengan mudah.Dengan suplai yang banyak, hal
ini menimbulkan permintaan yang tinggi dari para konsumennya yang hanya
menginginkan kepuasaan sesaat.
Salah
satu contoh dari kegiatan tersebut, yaitu perekrutan perempuan muda dari Bali
dan Jawa untuk misi kebudayaan atau tari ke Jepang. Para penari diberitahu bahwa
mereka akan membawakan tarian tradisional di sejumlah pusat hiburan di Jepang. Setibanya
di sana, mereka dipekerjakan di karaoke dan klub yang menyajikan tarian
telanjang. Mula-mula mungkin mereka akan bekerja sebagai pelayan atau teman
minum bagi tamu namun pada akhirnya mereka akan disuruh memberikan layanan seks
kepada tamu.
Tampaknya
ada berbagai jalan masuk ke dalam industri seks di Indonesia dan tidak semuanya
merupakan perdagangan. Sebagian perempuan memasukinya secara sadar, karena
merasa hanya sedikit pilihan yang tersedia bagi perempuan yang berpendidikan
rendah dan hanya memiliki sedikit keterampilan seperti mereka. Banyak di
antaranya yang harus menghidupi keluarganya dan tidak dapat menemukan jalan
lain yang layak untuk memberi makan keluarganya. Dalam kasus-kasus lain,
sejumlah perempuan dan gadis yang meninggalkan kampungnya untuk berangkat ke
kota besar guna mencari pekerjaan didekati oleh supir taksi yang menawarkan
mereka pekerjaan bergaji besar begitu mereka sampai di tempat tujuan, namun
kemudian mereka malah dibawa ke rumah bordil di mana mereka dipaksa atau dibujuk
untuk tinggal. Meski sering kali tidak diakui, orang tua dapat memperdagangkan anak
mereka dengan cara menyalahgunakan wewenang formal dan informal mereka sebagai orang
tua. Di beberapa kabupaten di Indonesia, terutama di Jawa, berlaku subbudaya di
mana keluarga yang mempunyai anak perempuan di bawah umur mengatur agar anak
mereka dapat menetap di kota untuk memasuki industri seks agar ia memperoleh
penghasilan lebih besar dari yang mungkin dapat ia raih. Ini sudah jelas
merupakan kasus perdagangan. Sementara di daerah lain, seperti Sulawesi Utara,
sejumlah perempuan dan gadis muda secara sadar menandatangani kontrak untuk
bekerja sebagai penari, penari telanjang atau bahkan pekerja seks, namun mereka
ditipu mengenai kondisi kerja yang harus mereka hadapi, dibebani oleh utang
yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar dari yang sebenarnya,
disekap secara paksa, atau tidak boleh menolak bekerja, sehingga nasib mereka berujung
dalam kondisi eksploitatif yang merupakan perdagangan. Juga ada konsistensi
yang cukup tinggi dari antara sejumlah laporan yang menyatakan bahwa 30%
pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun. Anak umur di bawah 18
tahun yang direkrut dan dikirim ke dalam industri seks merupakan korban
perdagangan, sehingga isu tentang persetujuan atau menjadi pekerja seks secara sukarela
menjadi tidak relevan.
Solusi
yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi kegiatan prostitusi
dan perdagangan anak yaitu menghentikan proses
permintaan. Untuk itu ada 4 komponen yang mempengaruhi, antara lain: Orang yang
membayar untuk mendapat jasa tersebut, Pelaku yang mencari dan menyalurkan
kepada para konsumen, Negara yang menjadi tujuan dari tindak kejahatan ini, dan
Kebudayaan yang menyetujui eksploitasi seksual.
Manakala
perdagangan manusia dibicarakan, pelaku perdagangan kerap digambarkan sebagai bagian
dari organisasi kejahatan lintas batas yang terorganisasi. Meski gambaran ini
mungkin saja benar dalam sebagian kasus, banyak pelaku perdagangan yang juga
jelas-jelas diketahui bukan bagian dari kelompok kejahatan terorganisasi;
sebagian beroperasi secara independen, sementara sebagian lagi merupakan tokoh
terhormat dalam komunitas mereka. Setiap sektor di mana perdagangan terjadi
juga memiliki kelompok aktornya sendiri di dalamnya. Sebagaimana tidak semua
perempuan dan anak yang terlibat dalam sektor-sektor ini adalah korban
perdagangan, demikian juga tidak semua aktor adalah pelaku perdagangan. Namun banyak
dari mereka yang menjadi pelaku perdagangan dan sebagian mungkin terlibat langsung
dalam perdagangan perempuan dan anak dan bahkan tidak menyadarinya.
Untuk memutus
hubungan antara pelaku prostitusi dan korban. Kita dapat memulai dari para
penyalur dan penyedia jasa tersebut. atau yang sering disebut dengan germo atau
mucikari, tapi dengan kelihaian para penyalur tersebut, mereka sulit sekali
untuk di tangkap dan sebagian besar orang yang ditangkap hanya para
penyalur-penyalur kecil, sedangkan para penyalur besar mereka masih nyaman
menjalankan usaha prostitusi ini. Oleh karena itu, perlu kerjasama yang bail
antara pemerintah dana aparat terkait untuk membuat suatu sistem yang efektif
untuk menagkap para pelaku tersebut dan tentunya disertai dengan mental yang
baik untuk melakukan tindakan di lapangan.
Di negara
tujuan, buruh migran perempuan Indonesia menghadapi risiko diperdagangkan untuk
eksploitasi seksual. Perempuan yang direkrut untuk menjadi pembantu rumah
tangga terkadang dipaksa untuk terjun ke dunia prostitusi di negara tujuan.
Walaupun pihak perekrut di Indonesia mungkin sudah lama mengetahui penipuan
ini, ada juga kasus di mana agen di negara tujuan menentukan buruh mana yang
akan menjadi pembantu rumah tangga dan yang akan dikirim ke rumah. Harian Kompas
pada bulan Maret 2000 melaporkan bahwa “20 buruh migran perempuan
diintimidasi dan disiksa oleh agen mereka karena mereka tidak mau melakukan
prostitusi”. Ada juga bukti bahwa buruh migran perempuan diperdagangkan ke
tempat-tempat seperti Sarawak dan Johor, Malaysia, untuk bekerja sebagai
pekerja seks untuk melayani buruh migran laki-laki Indonesia di perkebunan. Jumlah
perempuan yang diperdagangkan menjadi pekerja seks tidak diketahui pasti,
tetapi surat kabar sering kali mengangkat kasus-kasus baru. Saat ini Indonesia
belum mempunyai undang-undang perlindungan buruh migran. Namun demikian, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sedang membahas sebuah rancangan undangundang perlindungan buruh
migran yang disusun dan diadvokasi oleh LSM-LSM yang menangani masalah buruh migran
Indonesia. Dan untuk sementara ini, semua kebijakan dan peraturan tentang buruh
migran Indonesia masih tetap dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Di
Indonesia ada sejumlah praktik tradisional yang dapat dikategorikan sebagai
perdagangan, sistem ijon dan praktik-praktik terkait yang mencakup berbagai
jenis pekerjaan, seperti pekerja seks, PRT dan buruh kasar. Contohnya, praktik
pengambilan gundik di dalam lingkungan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai
cikal bakal perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual. Istana raja
dihuni oleh sejumlah besar perempuan yang disebut selir yang diberikan kepada
raja oleh bangsawan sebagai tanda kesetiaan atau sebagai upeti dari kerajaan-kerajaan
lain. Gadis-gadis ini juga sering kali dijual atau diberikan oleh keluarga
mereka untuk memperoleh posisi rendah di dalam rumah tangga kerajaan. Pola
pengambilan gundik serupa terjadi di dalam rumah tangga bangsawan di segenap
kawasan tersebut.
Sebelas
komunitas di Jawa adalah komunitas sumber yang signifikan untuk selir kerajaan
di masa lampau “ Indramayu, Karawang dan Kuningan di Jawa Barat; Pati, Japara,
Grobogan dan Wonogiri di Jawa Tengah; dan Blitar, Malang, Banyuwangi dan
Lamongan di Jawa Timur. Praktik ini juga berkembang di kalangan masyarakat
Bali; ketika perempuan berkasta rendah menjadi janda dan tidak dihidupi oleh keluarganya,
janda tersebut kemudian berada di bawah kekuasaan raja. Jika sang raja tidak ingin
memasukkan janda itu ke dalam rumah tangganya, ia mungkin akan dikirim untuk bekerja
sebagai pekerja seks, dengan sebagian gajinya dikirimkan ke raja.
wow Long post kawand,,, tapi bagus, pos ini bisa nambah pengetahuan kita mengenai perdagangan anak dan perempuan,, so satu kata STOP HUMAN TRAFFICKING,, dan pemerintah kita harus bekerja ekstra keras lagi untuk lebih meminimalisir perdagangan anak dan perempuan....
BalasHapus